http://kajiankomunikasi.wordpress.comMengapa  hukuman itu berupa jeweran di telinga, tidak di tempat lain, di hidung  contohnya? Filosofis, telinga adalah indera paling penting bagi  anak-anak dalam memelajari aturan-aturan yang diajarkan orangtua.  Orangtua mendidik anak dengan norma-norma melalui mulut mereka kemudian  diterima oleh anak-anak melalui telinga mereka. Jadi, anak yang nakal  patut dijewer telinganya supaya telinganya itu dipergunakan  sebaik-baiknya untuk belajar. Sambil menjewer telinga biasanya para  orangtua berkata, “Jika diberi tahu, dengarkan! Jangan dimasukkan  melalui telinga kanan lalu dikeluarkan melalui telinga kiri!”
Kini  setelah dewasa, saya tidak pernah dijewer ibu lagi. Bukan karena tidak  pernah ada peraturan yang saya langgar, melainkan badan saya sudah lebih  tinggi daripada badan ibu. Jadi, bila ibu mau menjewer telinga saya  dijamin tidak akan sampai. Lagi pula memang saya tidak pernah nakal  lagi. (Bukannya nakal adalah pelanggaran peraturan oleh orang yang belum  dewasa? Cobalah sempatkan Anda membaca Kitab Undang Undang Hukum Pidana  tentang definisi “nakal”. Oleh sebab itu, bila ada penyebutan hakim  nakal, polisi nakal, jaksa nakal, pejabat nakal, maka sebutan itu tidak  tepat. Penyebutan yang tepat adalah Hakim jahat, polisi jahat, jaksa  jahat, dan pejabat jahat. Sudah tua koq masih disebut nakal!).  Malahan ”kenakalan” saya sering sulit dimengerti, sudah bertahun-tahun  diajari tetapi saya masih saja tidak mengerti. Mulai dari melanggar  lampu lalu lintas yang sedang menyala merah, mengerjakan tugas secara  asal-asalan, hingga tidak memedulikan kesusahan orang lain. Sebagian  karena penggunaan telinga yang kurang benar.
Telinga  digunakan untuk mendengar dan mendengarkan. Dalam kajian komunikasi,  antara mendengar dan mendengarkan artinya berbeda. Mendengar berkenaan  dengan penerimaan rangsang suara secara datar dan tidak mendalam atau  tidak disengaja. Sedangkan mendengarkan bertalian dengan proses  psikologis yang aktif. Proses ini melibatkan hati, pikiran, telinga, dan  mata. Dengan kata lain, mendengar hanyalah proses sensasi. Mendengarkan  lebih dari sekadar sensasi, melainkan juga berpikir dan berempati.  Jadi, mendengarkan bukanlah usaha yang gampang. Mendengarkan adalah  usaha yang memerlukan energi dan perhatian yang tinggi. 
Dalam  huruf Cina untuk kata mendengarkan, yang diucapkan “ting”, tersusun  dari empat huruf: hati, pikiran, telinga, dan mata (lihat gambar huruf  Cina di sini). Maknanya, si pendengar mesti menggunakan elemen-elemen  itu agar hasil dari aktivitas mendengarkan menghasilkan nilai kebaikan  dalam berkomunikasi. Nilai ini bermanfaat bukan saja bagi pihak yang  mendengarkan, melainkan juga bagi pihak yang berbicara. Gunanya bagi  pihak yang mendengarkan adalah bahwa pendengar mampu menerima informasi  dengan tepat, memahami maksud orang lain, aspirasi, dan kecemasan  mereka. Bagi pembicara hal itu bermanfaat karena ia merasa diterima dan  dihargai pembicaraannya, dan terjalinnya hubungan sosial yang erat  dengan pendengar. Barang siapa mendengarkan dengan memperhitungkan  keempat elemen tersebut, ia akan menjadi pembicara sekaligus pendengar  yang ulung. Ya, ia akan menjadi komunikator yang ulung.
Lalu, bagaimanakah cara mendengarkan dengan baik?
Baiklah,  supaya Anda lebih mahir mendengarkan dengan baik saya akan membeberkan  rahasia ini. (Hanya saja tidak secara rinci karena ruang yang terbatas.  Jika Anda mau mengetahui lebih banyak, datanglah kepada saya sambil  berkata, “Tolong dong, bagi-bagi informasi tentang mendengarkan yang baik”. Maka, saya pun dengan senang hati akan membagi informasi itu. Setuju?). Walaupun istilahnya mendengarkan, Anda harus memberikan tanggapan ketika saatnya tiba. Seperti ini.
- Perjelaslah makna kalimat yang diucapkan oleh pembicara. Contoh, Pembicara, “… sungguh sangat mengecewakan! Sudah jauh-jauh datang ke sini rapat ditunda besok pagi. Orang kan punya banyak urusan, bukan hanya rapat. Padahal kemarin sudah saya sarankan agar rapat segera diadakan sebab acara ini penting”. Pendengar, “Tampaknya ini mengecewakanmu. Kamu sudah mengorbankan waktu, tetapi hasilnya sia-sia…” Pembicara, “Seperti itulah kira-kira perasaan saya. Ya, mungkin saja ada acara yang lebih penting sehingga sampai membatalkan rapat hari ini”.
 - Memantulkan perasaan atau emosi. Contoh, Pembicara, “Bagaimana mungkin saya bisa bekerja dengan benar kalau belum apa-apa orang sudah curiga dan apatis terhadap tindakan yang akan saya lakukan”. Pendengar, “Itu pasti mengacaukan pikiran”. Pembicara, “Masalahnya, saya tidak bisa bekerja kalau pikiran kalut akibat dicurigai”.
 - Memantulkan fakta. Contoh, Pembicara, “Hari ini sungguh hari yang aneh. Mau mengambil mobil di bengkel, mobil belum selesai diperbaiki. Telepon Hasan, lama nggak diangkat-angkat. Kemana saja dia? Belum lagi di jalan ada razia, petugasnya cari-cari kesalahan. Dibilang plat nomornya lecet lah, lampu rem nggak nyala lah”. Pendengar, “Hari ini sepertinya banyak gangguan ya?”
 - Rangkumlah gagasan-gagasan pembicara menjadi satu tema tertentu. Contoh, Pembicara, “Saya sudah mengajukan usul. Kumpulkan dulu teman-teman yang hendak mengikuti study tour ke Jogjakarta. Ajaklah mereka tukar pikiran, sehingga kita dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan rinci. Setelah itu baru dibuat proposal untuk mendapatkan bantuan dana. Lumayan, kan jika nanti kita mendapatkan bantuan dana?”. Pendengar, “Maksudmu pertama melakukan rapat dengan teman-teman. Kedua, baru membuat proposal?”.
 - Gunakanlah bahasa tubuh, paralanguage, gestur, atau apapun selain mulut anda untuk menunjukkan empati Anda kepada pembicara. (Khusus yang ini perlu rincian yang lebih panjang. Untuk saat ini cukuplah bagi saya menunjukkan pentingnya bahasa tubuh sebagai umpan balik yang produktif dalam aktivitas mendengarkan dengan baik). Sekian dulu ya. Salam hangat.*****
 

